Dalam tradisi tasawuf Aswaja An-Nahdliyah, kaum Aswaja berpedoman pada tasawuf Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid Al-Baghdadi yang tidak meninggalkan syariat dalam pencapaian menuju hakikat. Penerimaan model tasawuf tersebut sebagai jalan tengah (tawassuth) di antara dua kelompok yang berbeda yakni, kelompok yang menyatakan setelah seseorang mencapai tingkat hakikat, tidak diperlukan syariat, dan kelompok yang menyatakan bahwa tasawuf dapat menyebabkan kehancuran umat Islam (1).
Kitab Ihya’ Ulumuddin merupakan salah satu karya besar dari Imam Al-Ghazali dalam manhaj tasawuf yang berpendapat bahwa usaha untuk mendekati Tuhan, merasa adanya Tuhan dan ma’rifat kepada Tuhan, hanya dapat dicapai dengan satu jalan yakni jalan yang ditempuh kaum sufi (2). Imam Al-Ghazali menyadari bahwa pada zamannya terjadi pertentangan antara kaum syari’ah dengan kaum sufi. Syari’at diperlukan untuk mengatur kehidupan sehari-hari menurut sumber hukum Islam, tetapi disisi lain tasawuf diperlukan untuk memupuk perasaan halus manusia. “Syari’at tanpa hakikat menjadi bangkai tak bernyawa, hakikat tanpa syari’at menjadi nyawa tak bertubuh”. Atas dasar ini Imam Al-Ghazali mempersatu-padukan keduanya dengan (Menghidupkan Kembali Ilmu Agama : Ihya’ Ulumuddin).
Imam Al-Ghazali menyusun kitab Ihya’-nya menjadi empat bagian besar (rubu’) yaitu : (1) Bagian peribadatan (rubu’ ibadah), (2) Bagian pekerjaan sehari-hari (rubu’ adat kebiasaan), (3) Bagian perbuatan yang membinasakan (rubu’ al-muhlikat), dan (4) Bagian perbuatan yang menyelamatkan (rubu’ al-munjiyat).
Pada bagian rubu’ ibadah kali ini akan dijelaskan mengenai bab rahasia-rahasia puasa (asroril-shiyam) yang diawali dengan sabda Nabi Muhammad SAW : Ash-shaumu nishfush-shabri (bahwa puasa adalah setengah sabar) (3), Ash-shabru nishful iimaan (sabar itu setengah iman) (4).
Mengenai rahasia-rahasia puasa, Imam Al-Ghazali membagi puasa menjadi tiga tingkatan yaitu : puasa umum, puasa khusus, dan puasa yang khusus dari khusus (khusus al-khusus). Penjelasan tingkatan puasa tersebut dijelaskan sebagai berikut :
Puasa Umum/awam, yaitu “mencegah perut dan kemaluan dari memenuhi keinginannya”. Puasa jenis ini lebih dititik beratkan pada hal-hal yang membatalkan dalam bentuk kebutuhan perut dan kemaluan, tanpa memandang aspek menahan diri yang lain. Kekurangan jenis puasa ini hanya mendapat lapar dan haus selama berpuasa, dan tidak menghalangi dari kemaksiatan.
Selanjutnya, Puasa Khusus yaitu “puasa yang berusaha mencegah pandangan, penglihatan, lidah, tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya dari perbuatan dosa”. Orang-orang yang berada pada tingkat puasa khusus memiliki kesadaran untuk selalu menahan keinginan lahiriah dari kenikmatan yang diinginkan oleh anggota-anggota tubuh tersebut. Menurut Imam Al-Ghazali jenis puasa ini memiliki motivasi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah SWT dengan mengalahkan keinginan-keinginan yang bersifat lahiriah.
Terakhir, Puasa Khusus Al-Khusus yaitu “puasa hati dari segala cita-cita yang hina dari segala pikiran duniawi serta mencegah daripada selain Allah SWT secara keseluruhan. Jenis puasa ini menurut Imam Al-Ghazali merupakan puasanya para nabi-nabi, orang-orang siddiq, dan orang-orang muqarrabin. Maqam puasa ini menganggap batal puasanya apabila memikirkan hal yang bersifat duniawi. Imam Al Ghazali juga mengungkapkan : “Barangsiapa tergerak cita-citanya dengan bertindak pada siang harinya untuk memikirkan bahan pembukaan puasanya, niscaya dituliskan suatu kesalahan kepadanya. Karena demikian itu, termasuk kurang kepercayaan dengan karunia Allah Azza wa Jalla dan kurang yakin dengan rezeki yang dijanjikan.”
Mencapai tingkatan Puasa Khusus Al-Khusus menurut Imam Al Ghazali dilalui dengan enam perkara yakni : (1) Menjaga mata dan mencegah dari segala yang cela dan dimakruhkan kepada segala yang menuntun hati kepada mengingat Allah SWT, (2) Menjaga lidah dari perkataan yang sia-sia, berdusta, berkata keji, kata yang mengandung riya’, (3) Mencegah pendengaran daripada mendengar segala yang makruh, (4) Mencegah anggota-anggota tubuh yang lain dari segala dosa, (5) Tidak membanyakkan makan belaka waktu berbuka, (6) Hatinya sesudah berbuka bergantung dan bergoncang diantara takut dan harap, karena ia tidak mengetahui apakah puasanya diterima atau ditolak.
Demikianlah bab rahasia-rahasia puasa tentang tingkatan puasa oleh “Hujjatul Islam” Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin. Semoga sahabat/i dapat meningkatkan kualitas ibadah di bulan Ramadan ini, disamping aktivitas sosial yang terhambat karena wabah pandemi global yang melanda dunia. Wallahu A’lam
________________________________________
Catatan kaki :
(1) Tim PWNU Jatim, 2007. Aswaja An-Nahdliyah. Surabaya: Khalista
(2) Sambutan terjemahan Dr. H. A. Malik Karim Amrullah
(3) Dirawikan At Tirmidzi dari seorang laki-laki dari suku Bani Salim. Dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah.
(4) Dirawikan Abu Na’im dari Ibnu Mas’ud dengan sanad yang baik.
_______________
Penulis adalah direktur LSO Riyadhul Fikr 2019-2020, Komisariat PMII Sunan Kalijaga Malang