Sejenak memahami peringatan 21 April yang selalu digelorakan sebagai hari Kartini, tentu tak hanya soal kesetaraan gender yang diperjuangkan, tetapi dapat dimaknai konteks zaman dimana Kartini hidup pada masa tersebut. Begitupun Weber menyebutnya dalam istilah Verstehen tentang suatu pendekatan untuk memahami makna yang melingkupi fenomena sosial dan historis. Terlepas kiranya perayaan seremonial tahunan yang mengenal sosok Kartini hanya seorang pejuang emansipasi, tetapi tak banyak pula yang menelusuri jejak pemikirannya. Memaknai Kartini secara implisit dalam konteks zamannya, tentu tak lepas akan kontribusi pemikiran yang terbilang melampaui zamannya melalui surat-surat yang dikirimkan kepada beberapa sahabatnya di Belanda, hingga kemudian dibukukan dengan judul Door Duisternis tot Lieht (Habis Gelap Terbitlah Terang) pada tahun 1911.
Kartini yang lahir pada 21 April 1879 menjelang pergantian abad ke-19 ke 20, hidup sebagai keluarga bangsawan Jawa dari anak seorang Bupati Jepara Adipati Ario Sosroningrat. Sehingga tidak mengherankan pula jika Kartini mendapatkan pendidikan terbaik, bersekolah di sekolah Belanda dan juga pandai berbahasa Belanda sejak kecil. Ayahnya sangat terbuka terhadap ilmu pengetahuan dengan menyekolahkan seluruh anaknya di sekolah Belanda dan mengirimkan salah satu anak laki-lakinya ke negeri Belanda untuk menempuh pendidikan lanjut. Meskipun pada akhirnya Kartini terbelenggu oleh tradisi Jawa yang kuat dan dipingit sejak usia 12 tahun, hingga ia menikah pada usia 24 tahun dengan Bupati Rembang Adipati Djojo Adiningrat yang telah memiliki istri tiga dan tujuh orang anak. Kemuliaan dalam hidupnya telah terenggut sirna, perlawanan Kartini terhadap poligami pun membawa pada kesadaran, bahwa ia hidup dalam bayang-bayang musuh besar yang dilawannya, dan kini menemui jalan buntu hingga menelan korban baru yakni dirinya sendiri.
Dalam sebuah artikel di historia.id berjudul “Kartini Martir, Bukan Pelakor!” disebutkan bahwa yang paling mengerikan dari era media sosial saat ini adalah meme ejekan terhadap Kartini yang lahir sebagai anak dari istri ketiga, dan dipersunting oleh bupati yang telah pula beristri, dan lantas disebut sebagai contoh “ibu teladan dalam poligami”.
Tetapi narasi tentang perjuangan Kartini dianggapnya sebagai pemberontakan untuk menikah dengan suami orang. Meskipun pernikahan Kartini dengan bupati Rembang tersebut dilalui dengan beberapa syarat yang diajukannya: (1) Kartini menginginkan perlakuan yang setara dan tidak ingin mengikuti proses pernikahan Jawa yang rumit, (2) Kartini ingin ibunya diperlakukan setara dengan memberinya tempat di ruang depan keraton, dan (3) Kartini menginginkan untuk dibuatkan sekolah perempuan. Dengan senang hati pun sang bupati menyetujui semua syarat yang diajukan Kartini tersebut.
Sehingga benar kiranya yang diungkapkan Pramoedya dalam bukunya yang berjudul Panggil Aku Kartini Saja (1962), bahwa Kartini bukan hanya pejuang emansipasi perempuan, tetapi juga pemikir modern Indonesia yang pertama. Dalam buku biografi yang ditulis oleh Pram tersebut menguraikan interpretasi terhadap Kartini tentang kondisi sosial budaya yang menyertainya. Secara tegas pun Pram menyebutkan bahwa Kartini menolak sistem feodalisme Jawa yang berkembang pada masa itu dengan bentuk keinginannya untuk dipanggil tanpa gelar bangsawan atau panggilan kebesaran Raden Ayu, sebagaimana yang termuat dalam suratnya kepada Estelle Zeehandelaar tertanggal 25 Mei 1899 yaitu: “Panggil aku Kartini saja-itulah namaku.” (hal.231)
Rujukan pendukung :
https://historia.id/politik/articles/kartini-martir-bukan-pelakor-6lJBo
Pramoedya Ananta Toer. 2015. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara
(*) Margo Teguh S, Pemerhati sosial Korps PMII Putri Sunan Kalijaga Malang