Romantika Cinta dan “Energi Sakit Hati”

  • Share
bangkit

Assalamualaikum wr wb.

Dalam kesempatan ini, izinkan saya menyampaikan salah satu rahasia hidup saya semasa kuliah dan aktif di PMII Rayon Al-Hadad. Tujuan saya menyampaikan cerita ini adalah berharap mudah-mudahan bisa dijadikan I’tibar dan pelajaran bagi sahabat-sahabat semua. Saya kira akan sangat tepat jika pengalaman pribadi ini yang dijadikan sebagai contoh. Karena dengan berperan sebagai subyeknya, maka segala sesuatunya dapat diketahui secara langsung. Khususnya terkait kondisi perasaan (psikologi) yang tidak dapat dilihat dan diketahui oleh orang lain dan hanya pelakunya yang tahu dengan pasti.

Sangat wajar dalam kehidupan manusia kita pernah mengalami romantika percintaan dan kisah cinta anak muda. Saya pribadi pun tentu pernah mengalaminya. Kisah ini awalnya ingin saya simpan rapat-rapat sebagai rahasia hidup saya. Namun saya pikir-pikir, akan lebih baik saya kisahkan karena saya yakin ada bagian-bagian yang dapat dipetik sebagi hikmah.

Saya pada dasarnya pribadi yang introvert kalau berbicara masalah wanita. Hal ini mungkin sangat jauh berbeda dengan kebanyakan anak-anak jurusan teknik mesin yang umumnya terkenal berani dan (mungkin dikatakan) “nakal” kalau terkait hal satu ini. Hal ini salah satunya karena petuah dan pesan ibu saya untuk tidak boleh “pacaran” sebelum saya lulus. Saya bisa maklum karena mengingat kondisi ekonomi keluarga orangtua saya yang jauh dikatakan mampu sehingga menyebabkan Beliau takut jika anaknya “gagal” disebabkan “masalah wanita”. Hal ini sepertinya dikuatkan oleh cerita-serita yang disampaikan Beliau ke saya, dimana beberapa anak tetangga kampung kami yang kuliah dan telah menghabiskan harta orang tua mereka, namun mereka gagal menyelesaikan kuliah dan justru pulang bawa (calon) istri. Terlepas dari cerita itu, dari diri pribadi saya cukup sami’na waato’na kalau sudah diminta ibu saya, apalagi permintaan itu bukan hal yang melanggar norma.

Namun namanya manusia, lama kelamaan juga ada rasa iri terhadap kawan-kawan lain yang (sepertinya) sudah hal yang umum saat kuliah juga sambil nyari-nyari calon pasangan masing-masing. Apalagi waktu itu sudah masa mendekati akhir kuliah, dalam hati juga ingin sekali punya “pendamping” wisuda yang barangkali juga kelak menjadi “pendamping hidup” saya. Sementara sebelum-sebelum itu, saya lebih memilih untuk memendam perasaan meskipun ada perempuan yang saya taksir dan sebaliknya. Saya memilih menyibukkan diri dengan berkegiatan untuk “membunuh” waktu dan “membuang” perasaan itu.

Akhirnya kemudian saya coba beranikan untuk menyampaikan perasaan kepada seorang gadis yang menurut saya (waktu itu) tidak ada duanya kesempurnaannya: cantik, manis, solihah, baik hati, suka tersenyum, cerdas dan sama-sama aktivis. Satu lagi yang menjadi tipe yang saya suka …berkacamata. Tipikalnya sungguh idaman saya. Mungkin sahabat-sahabat juga pernah mengalami situasi saat pertama kali mengungkapkan perasaan cintanya: jantung berdegup keras, keringat dingin keluar, gelisah, serba salah dan perasaan takut, semua jadi satu. (Kalau sudah tidak mengalami ini, kemungkinan sudah terbiasa).

Dan pada akhirnya gadis itu menyampaikan ke saya untuk minta waktu untuk pikir-pikir dulu. Tidak ada jawaban “iya” keluar dari mulutnya. Saya juga berusaha maklum dan tidak ingin memaksa, mungkin perlu waktu untuk saling mengenal diri masing-masing lebih jauh.

Seperti halnya insan yang dilanda kasmaran lainnya; ngapain aja selalu ingat dia, bahkan kalau bisa dalam mimpipun dia hadir. Saat dia nelfon atau SMS minta tolong ini atau itu, bukannya perasaan susah yang ada. Namun rasa gembira dan senang karena merasa bagai sosok pahlawan yang sangat berarti bagi dia. Prinsipnya saya akan selalu ada dan tidak ada kata tidak untuknya. Mungkin sahabat-sahabat juga pernah mengalaminya juga kan. 

Namun akhirnya suatu ketika kabar sedih itu datang juga. Bagai disambar petir rasanya saat saya tahu dia lebih memilih kawan saya. Hati sakit seperti teriris sembilu. Hidup tiba-tiba terasa hampa, kosong, dunia terasa terbalik dan seakan kiamat. Makan tidak enak, tidur tidak nyeyak dan dada sesak dan panas sekali rasanya. Sekitar seminggu saya merasakan kesedihan yang teramat sangat, jauh lebih sedih saat saya ditinggal wafat ayah saya sebelumnya.

Namun akhirnya akal waras saya mampu menguasai diri saya kembali. Pernyataan-pernyataan dan pertanyaan-pertanyaan logis terus saya coba munculkan dalam pikiran saya untuk menjadi pembenar pilihannya. Mungkin kawan sayalah yang terbaik dan cocok buat dia. Kawan saya lebih ganteng, lebih gagah, anak orang kaya, berkedudukan, mapan sehingga wajar jika dia mampu memberikan jaminan kehidupan yang jauh lebih baik daripada saya. Sementara saya? Saya bukan apa-apa, tampang pas-pasan, anak orang miskin, kerjaan belum punya, tabungan belum punya, masih punya tanggungjawab untuk membantu adik-adik saya setelah almarhum ayah kami meninggal, sehingga jelas tidak akan mampu memberikan jaminan ekonomi baginya. Klausa-klausa sedemikian rupa kemudian terus saya munculkan yang pada akhirnya mampu membuat mental saya kuat kembali, terlepas apakah klausa-klausa itu benar-atau salah.

Kemudian sampai pada suatu titik dimana saya bukan hanya mampu melenyapkan rasa sakit itu, namun juga mampu membalikkan rasa sakit itu menjadi energy positif pelecut yang maha dahsyat yang akhirnya mampu mendorong diri saya untuk berfikir dan bekerja jauh lebih “gila”. Ya, memang sekarang saya masih miskin, maka saya harus kerja keras agar dapatkan pekerjaan yang layak. Ya, saya masih belum punya apa-apa, maka dari itu saya nanti harus punya. Jika saya sudah punya, tentu saya bisa bantu adik-adik saya, ibu saya dan membina keluarga saya sendiri. Ya, saya sekarang bukan apa-apa, tapi lihat saja 5-10-20 tahun lagi saya tidak akan sama.

Dan pada akhirnya, dengan jujur dan hati terbuka saya justru merasa harus mengucapkan terimakasih pada pengalaman berharga itu. Khususnya pada dia yang memberikan pengalaman itu. Tanpa pengalaman itu, mungkin saya akan masih bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Kedamaian hati telah saya raih, tidak ada dendam dan amarah yang masih tersimpan. Bahkan jauh di lubuk hati yang dalam saya selalu mendoakan dia akan selalu bahagia dengan pilihannya. Sampai pada titik ini, saya merasa sangat bersyukur karena telah mendapatkan anugerah yang tidak terkira dari Allah swt yang ternyata jauh melebihi dari apa-apa yang dulu saya bisa bayangkan. Sebagai rasa syukur itu, maka saya niatkan diri untuk bisa bermanfaat bagi orang-orang di sekeliling saya. 

Dari pengalaman ini, saya hanya ingin menyampaikan pesan bahwa setiap orang tidak akan lepas dari rasa sakit dan penderitaan. Namun jika rasa sakit dan penderitaan itu mampu kita jadikan energy positif untuk mendorong (boosting) kita melakukan pengembangan diri kita (capacity & capability building), maka itu akan jauh lebih baik dan bermanfaat daripada membuang energi itu percuma dengan justru melampiaskannya untuk hal yang tidak baik, merugikan diri pribadi atau bahkan mungkin ke hal-hal yang bersifat mencelakai diri. Energi dari sakit hati maupun amarah, akan jauh lebih berguna dengan menggunakannya sebagai tenaga pendorong untuk penguatan diri kita. Dan bukan sebaliknya sebagai tenaga penghancur.

Sebagai contoh lagi, bangsa kita telah tersakiti oleh penjajah selama ratusan tahun. Dengan memanfaatkan energi sebagai bangsa yang direndahkan martabatnya, maka kemudian energy itu disatukan dalam bentuk perjuangan sehingga mampu membawa Bangsa ini merdeka.

Kita mungkin juga patut belajar dari Bangsa China, dimana selama beberapa dekade mereka terus mengalami diskriminasi, dipermalukan dan diperlakukan tidak adil. Pada akhirnya, mereka mampu mengumpulkan energy bersama-sama untuk membalikkan keadaan menjadi bangsa yang diperhitungkan dan ditakuti bahkan oleh negara-negara adidaya semacam US, terlepas dari ketidaksukaan kita pada tipikal pribadi, budaya maupun kepercayaannya. Mereka tidak terbelenggu dan menyerah oleh tekanan maupun perlakuan tidak adil dunia kepada mereka. Namun rasa sakit itu mereka gunakan untuk memompa semangat mereka untuk menjadi bangsa pemenang.    

Tentu semangat inilah yang harus ada pada diri kita. Bagaimanapun sakitnya kita di saat direndahkan, dihina dan dimanfaatkan oleh bangsa lain, kita mestinya memanfaatkan energy itu untuk bersama-sama membangun Bangsa kita untuk semakin maju. Bukan sebaliknya justru mencari kambing hitam, terus berselisih, hanya bisa mencaci-maki nasib atau bahkan menyebarkan kebencian dan saling “makan” untuk mencari hidup sendiri-sendiri. Dengan melalui peran organisasi (PMII, NU) kita inilah, energy itu perlu kita salurkan.

Sekian dan mudah-mudahan bermanfaat. Wallahul muwafiq ila aqwamith thorieq.
Wassalamualaikum wr wb.

(NB: tolong jangan ceritakan sama istri saya ya)


Identitas dirahasiakan.
Juga punya pengalaman menarik selama ber-PMII? Kuy bagikan kisah itu secara rahasia melalui Rubrik Spontan! Seluruh identitas akan dijamin kerahasiaannya, mulai dari pengiriman email hingga publikasi.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *