Kehadiran PMII pada saat itu dianggap sebagai persiapan kader intelektual yang kelak bisa ikut memimpin NU secara institusional. Pemikiran PMII tentang kesarjanaan pada awal kelahirannya adalah penguasaan ilmu apa saja yang berfaedah nyata bagi peradaban dan kemanusiaan.
Kesarjanaan tidak dengan sendirinya menjadi suatu nilai yang final, bilamana tidak disertai dengan tindakan nyata bagi kepentingan kemajuan rakyat banyak sebagai pengabdian yang tak berhenti.
Ilmu untuk diamalkan dan bukan ilmu untuk ilmu. Diantara sumbangsih PMII pada bangsa yang baru saja berdiri tertuang dalam deklarasi Tawangmangu 25-29 Desember 1963, Kongres II, yang berpegang pada Sosialisme Indonesia dalam artian struktural dan moral dilihat dari sudut pandang Islam dan pendapat umum.
Pada butir ketiga Deklarasi Murnajati, Malang, 14 Jul 1972, dalam Mubes III PMII melakukan ‘talak’ (baca; independent; tidak tergantung) pada bapaknya (NU) karena keinginan agar bisa menuju proses pendewasaan dan pejagaan idealisme yang menuntut sikap kreatif, terbuka, dan bertanggung jawab.
Adapun tim perumus Deklarasi Murnajati adalah; Umar Basalin (Bandung), Madjidi Syah (Bandung), Slamet Efendi Yusuf (Yogyakarta), Man Muhammad Iskandar (Bandung), Choirunnisa’ Yafizhan (medan), Tatik Farikhah (Surabaya), Rahman indrus dan Muiz Kabri (Malang).
Kiprah PMII pasca independen tidak banyak terekam, karena minimnya dokumen, termasuk posisi PMII ketika kasus Malari. Tetapi yang jelas, ketika rezim orde baru berkuasa, PMII dipinggirkan dan dibatasi perannya. Kemudian, PMII berusaha mengambil langkah-langkah strategis untuk menunjukkan eksistensi dan kiprahnya. Baru tahun 1989 PMII melakukan Penegasan Cibogo (Kongres Medan) dan merevisi pola hubungan NU-PMII dengan pola interdependensi.
Deklarasi Interdependensi terjadi ketika Kongres X PMII di Pondok Gede, Jakarta, tahun 1991. Setelah itu, PMII terlibat dengan berbagai gerakan, termasuk gerakan Reformasi tahun 1998 dengan terang-terangan atau masuk ke dalam organ-organ gerakan taktis.