Oleh : Margo Teguh Sampurno*
Sebuah organisasi yang besar dengan militansi anggotanya dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita organisasi, tentu dapat dilihat dari proses kaderisasi yang dibangun oleh organisasi. Hal demikian berkaitan erat dengan kondisi sosial-historis sejak awal pendirian organisasi tersebut, yang dibangun oleh sekelompok orang yang memiliki cita-cita dan harapan yang sama dalam membangun peradaban intelektual.
Istilah kader yang diartikan sebagai seseorang atau sekelompok orang di dalam organisasi yang bertugas untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita organisasi. Sehingga, seseorang yang telah mendapat gelar kader dalam organisasi, harus siap mengabdi dan berjuang bagi keberlangsungan gerak organisasi dan menyiapkan calon-calon kader dengan penguatan disiplin ilmu dan disiplin ideologis. Oleh karena itu, organisasi massa yang memiliki sistem nilai yang dijunjung tinggi semacam ideologi, menjadi nilai tawar bagi anggota dan sebagai faktor pemersatu bagi tergeraknya militansi anggota. Konsep ideologi yang mampu menembus batas wilayah, tanpa mengenal faktor umum lain seperti budaya dan tradisi, dinilai sebagai wujud integrasi sosial. Sebagai contoh Pancasila sebagai ideologi bangsa yang menjadi pemersatu dan pandangan hidup masyarakat Indonesia yang majemuk. Tentunya ideologi tunggal dalam sebuah lingkup yang luas, akan mengalami bentuk manifestasi lain yang beragam sesuai dengan kondisi sosio-kultural tiap wilayah. Begitupun agama, seperti Islam yang hadir di Indonesia dengan wujud yang berbeda-beda di tiap wilayah. Hal tersebut dikarenakan Islam tidak hadir di dalam ruang yang kosong, dengan pemaknaan bahwa Islam hadir di tiap wilayah dengan proses berlangsungnya budaya dan tradisi yang menjadi sistem nilai hidup mereka, sebelum Islam masuk dan berkembang setelahnya.
Oleh karena itu, memahami organisasi sebagai suatu kesatuan sistem yang kompleks, dengan beragamnya karakteristik anggota di dalamnya, tentu diperlukannya analisis mengenai tipologi kader agar penempatan struktural organisasi sesuai dengan karakter dan disiplin keilmuan-metodis. Adapun model yang dapat diterapkan seorang pengkader untuk mengenali anggota barunya, dapat menggunakan model BMW (Bakat-Minat-Wacana). Model tersebut merupakan interpretasi penulis dalam melihat dinamika organisasi yang berbasis kader dengan memahami pengelolaan dan pendistribusian anggota baru,agar dibentuk menjadi kader-kader militan dalam melanjutkan tujuan dan cita-cita organisasi.
Hal pertama dalam model tersebut dilakukan oleh seorang pengkader dengan mengenali “BAKAT” awal anggota baru sebagai bagian dari organisasi tersebut. Tentu seorang anggota baru akan memiliki bakat yang telah diperolehnya dengan mengacu pada pengalaman dan pendidikan sebelumnya. Sehingga, analisis tersebut menjadi langkah awal bagi pengembangan calon kader dalam berproses di organisasi nantinya. Tahap selanjutnya adalah “MINAT” untuk menilai kecenderungan anggota baru dalam berproses menjadi seorang kader. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memberikan kuesioner yang memuat pilihan-pilihan minat di organisasi, dan dilanjutkan dengan memberikan konseling persona sebagai usaha dalam membangun hubungan emosional. Kemudian, tahap akhir yang mengacu pada pemetaan anggota secara bakat dan minatnya, maka dilanjutkan dengan pengembangan WACANA untuk membangun kemampuan retorik dan dialektika dalam beragumentasi. Anggota baru haruslah dibawa pada tahap kesadaran kritis yang mengacu pada kualitas pengkader sebagai unsur keteladanan secara perilaku dan pemikiran. Sehingga model BMW (Bakat-Minat-Wacana) jika diterapkan secara tertib keorganisasian dan dijalankan sebagai sebuah tanggung jawab bersama, maka militansi anggota akan tergerak dalam mengabdikan dirinya sebagai seorang kader organisasi.
*Direktur Lembaga Semi Otonom Riyadhul Fikr 2019-2020 Komisariat PMII Sunan Kalijaga Malang, Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Malang
LSO RF selalu berbeda,.. Keren,..